
Lihat penampakannya, bikin ngiler khan ?????
Mie ayam ini sejak aku SMA dah ada di Pasar Mayestik, kalau gak salah dulu namanya Mie Ayam Pak Sakidjan. Sekarang jadi MIE KONDANG ... mungkin maksudnya biar kondang atau terkenal gitu .. :) Amin ... sekarang beneran kondang kok :)
Belakangan aku dan teman-teman kerjaku jadi sering mampir ke Mayestik untuk makan mie ayam ini, abis ngangenin sih .... Mienya enak, baksonya juga enak pa lagi kalau disantap bareng es campurnya :

recommended banget deh !!!
Letaknya di dalam Pasar Mayestik lt. 2 dekat penjahit-penjahit, tanya-tanya aja Mie Sakidjan atau mie kondang, pasti di kasih tau.
Harganya murmer, mie ayam bakso dan es campur cuma Rp. 15.000.-
Ternyata Pak SBY juga suka sama mie ayam pak Sakidjan ini. Ini aku copas dari Kompas tentang riwayat Mie Kondang dan Bapak Sakidjan.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0501/24/ekonomi/1513064.htm
Kompas, 21 Februari 2005, Bisnis & Investasi
TEKAD. Hanya itu modal Sakidjan (50) saat memberanikan diri merantau dari Wonogiri, Jawa Tengah, ke Jakarta tahun 1973. Tidak ada keahlian, apalagi dana. "Dengan ijazah SMP bisa apa. Saya kerja dua minggu di bangunan. Sangat berat, sampai terpikir apa saya bisa terus hidup atau tidak," tutur Sakidjan.
Keinginan untuk tetap bertahan di Jakarta membawanya bekerja pada seorang pedagang mi di bilangan Kota, Jakarta, selama 1,5 tahun. Langkah inilah yang memberinya inspirasi untuk memulai perjalanannya menjadi pedagang mi ayam, bukan hanya pegawai. "Saya putuskan untuk jualan sendiri dengan mendorong gerobak. Saya pikir, kalau tidak usaha sendiri, bagaimana bisa memperbaiki hidup. Awalnya minya beli, yang saya buat sendiri bumbu dan ayamnya. Tahun 1976, setelah menikah, jualan dibantu istri," kata Sakidjan, suami dari Saikem.
Tidak cukup sampai di situ, Sakidjan terus berupaya agar dia dapat menjadi produsen mi, bukan sekadar pedagang mi. "Saya datang ke toko bahan mi, saya bilang mau beli bahan mi. Yang punya toko bilang ada lebih dari 100 macam bahan mi. Saya bilang apa saja. Saya diberi catatan cara bikin mi. Saya coba meracik sendiri, gagal, bikin lagi, kurang bagus, coba lagi, malah dulu pernah minya jadi gede-gede kalau direbus. Pokoknya terus dicoba. Itu dari tahun 1981, sampai akhirnya ketemu racikan yang pas seperti sekarang," tuturnya.
Kegigihannya mencoba dan terus mencoba tidak sia-sia. Mie Ayam Kondang, yang menjadi merek dagang Sakidjan, telah menjadi santapan yang dicari banyak orang dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Selama satu bulan, menjelang Yudhoyono dilantik menjadi presiden, mi ayam olahan Sakidjan menjadi hidangan "resmi" di Cikeas, rumah pribadi Yudhoyono. "Setiap hari setidaknya 500 mangkuk harus saya sediakan. Malah pernah 2.000 mangkuk sehari. Tidak hanya tamu Pak SBY yang menikmatinya, Ibu Ani dan Pak SBY juga menikmatinya. Bahagia rasanya mi saya disukai Pak SBY," katanya.
"Hasil dari order di Cikeas bisa buat beli Avanza," ujar Sakidjan lagi.
KEINGINAN terus meningkatkan usaha tidak pernah padam. Tahun 2003, Sakidjan memutuskan tidak cukup kalau hanya menjual mi ayam dengan berkeliling, harus ditingkatkan. Dia pun membuka outlet di daerah Mayestik, Jakarta Selatan. "Itu setelah saya mendapat pembinaan dari Bogasari. Para pembina, seperti Pak Frankie (Franciscus Welirang, Direktur PT Bogasari) dan Pak Suyono (mantan Kasum ABRI), yang selalu memberi pandangan, yang membuat saya semakin memahami bagaimana seharusnya berusaha," tutur Sakidjan, yang kini punya sembilan outlet Mie Ayam Kondang, dengan keuntungan yang lumayan.
Sakidjan punya alasan tersendiri dalam mengembangkan outlet-nya. "Dagang seperti saya ini tak bisa kalau cuma punya satu warung, minimal tiga, supaya kalau yang satu sepi bisa ditunjang yang lain. Istilahnya subsidi silang," kata Sakidjan yang tidak segan menularkan ilmunya kepada siapa saja yang mau berusaha mi ayam.
"Kalau untuk mengembangkan lagi di Jakarta masih terjangkau, tapi kalau ke luar Jakarta saya masih mengukur kemampuan supaya tidak malah berantakan nantinya. Ada yang mau franchise, tetapi saya belum ketemu acuan baku untuk usaha seperti itu," tuturnya.
Sebab, dia harus menjaga cita rasa mi ayam yang memakai merek dagangnya. Untuk itu, aturan yang ketat diterapkan kepada semua pegawainya guna menjaga kualitas. "Soal keuangan, saya tidak cerewet, tetapi kalau standar kerja, saya tidak mau ada yang tidak mengikutinya," tegas Sakidjan yang minimal dua kali dalam sepekan mendapat pesanan untuk pesta atau acara-acara lain.
Standar itu antara lain menjaga kesegaran mi. "Mi harus tetap fresh. Jadi, mi yang dibuat pagi jangan dijual sampai malam. Karena itu, saya suplai dua kali ke tiap outlet, yang untuk malam, minya kami buat jam 12 siang karena mi yang saya buat tidak pakai pengawet. Air untuk merebus maksimal untuk 75 mangkuk," ungkap Sakidjan yang kini memiliki 35 karyawan dengan gaji Rp 300.000 hingga Rp 1 juta, ditambah perumahan, makan, biaya kesehatan, dan bonus bila warung mencatat penghasilan kotor lebih dari Rp 1,25 juta per hari.
Selain memasok outlet-nya, Sakidjan juga memasok mi kepada 80 pedagang mi ayam gerobak. "Saya berikan gerobak kepada mereka, tetapi mereka beli mi dari saya. Kalau bahan lain, mereka sediakan sendiri. Dari gerobak tidak banyak untungnya, sekitar Rp 10.000 per gerobak per hari," ujarnya.
"Namun, ada kebahagiaan sendiri bisa membuat orang lain bekerja dan punya nafkah. Kalau bisa ambil mi lima kilogram atau sekitar 60 mangkuk saja, penghasilan mereka bisa Rp 50.000 per hari," kata ayah tiga anak yang setiap hari menghabiskan 15-20 karung terigu ukuran 25 kilogram, 80 ekor ayam, 25 kilogram daging bakso, dan 10 tabung gas ini.
Persoalan yang kini dihadapi Sakidjan adalah kenaikan harga gas, yang membuat biaya produksinya meningkat tajam. Untuk gas, dengan kenaikan dari Rp 48.000 menjadi Rp 53.000 per tabung, biaya tambahan yang harus dikeluarkannya mencapai Rp 5 juta-Rp 7 juta per bulan.
Tidak hanya itu, harga ayam pun naik Rp 2.000 per ekor sehingga beban tambahan yang harus ditanggung mencapai Rp 5 juta per bulan. Pengeluaran untuk daging pun meningkat Rp 4,5 juta per bulan, untuk yang lain-lain ada tambahan sampai Rp 9 juta.
"Tetapi, baru harga bakso yang saya naikkan, yang lain belum. Itu juga belum menutup kenaikan harga bahan baku. Saya belum berani menaikkan harga. Saya harus mencari cara supaya pembeli tidak merasa berat. Harus ada kompensasi yang diterima pelanggan kalau harga naik," kata Sakidjan yang menjual mi ayam per porsi Rp 5.000, mi ayam bakso dan mi bakso Rp 6.000.
Mencari, dan terus mencari, itulah yang dilakukan Sakidjan untuk dapat terus bergerak maju. Satu kiat yang selalu ia pegang. "Kalau dagang, tidak harus cari untung terus, rugi pun harus siap ditanggung, karena sewaktu-waktu keuntungan bisa kita raih lagi. Jangan karena kenaikan bahan baku lalu kita menaikkan harga ke pelanggan," ucapnya. (Elly Roosita)